KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF DI RANAH MINANG

KEPEMIMPINAN YANG EFEKTIF DI RANAH MINANG
Oleh : Anshar Bonas Silfa

1. Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan salah satu bentuk fenomena sosial. Tidak berlebihan bila ada yang merumuskan bahwa kepemimpinan itu sudah ada sejak lama, sejak dikenalnya peradaban manusia itu sendiri. George R. Terry mengatakan bahwa kepemimpinan adalah untuk mempengaruhi orang lain agar dapat diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi/institusi. Bahkan tujuan tersebut tidak hanya tujuan organisasi tetapi juga tujuan individual. Agar perwujudan pengaruh seorang pemimpin dapat berlangsung secara efektif, seringkali diperlukan kekuasaan atau wewenang. Artinya, perbincangan masalah kepemimpinan, maka ada keterkaitannya dengan pengaruh (influence), kewibawaan (charisma), kekuasaan (power) dan wewenang (authority).
Dari perspektif sosiologi kepemimpinan, leadership (kepemimpinan) adalah kemampuan dan seni seorang leader (pemimpin) dalam memotivasi dan mengkoordinasikan personal/kelompok dalam melaksanakan peran dan fungsi, kewenangan dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama. Dalam perspektif perubahan sosial, kepemimpinan adalah maksimalisasi potensi pengaruh untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik atau menjaga konsensus yang telah ditetapkan secara bersama-sama.
Faktor-faktor di atas akan memberikan arah pada pola kepemimpinan seseorang. Makin besar pengaruh dan otoritas yang dipunyai oleh seorang pemimpin, makin besar pula peluangnya untuk mempengaruhi orang lain.
Dalam membicarakan Sistem Kepemimpinan, kebudayaan merupakan faktor sangat penting, karena menyangkut kajian mengenai berbagai perilaku seseorang maupun kelompok yang beroreantasi tentang kahidupan bernegara, penyelenggaraan pemerintahan, politik, hukum, adat istiadat dan norma, kebiasaan yang berjalan yang dilaksanakan dan dihayati oleh anggota masyarakat sehari hari dalam organisasi (formal dan informal).
Budaya Minangkabau, dengan budaya politik partisipasi dapat merupakan kajian kepemimpinan dalam budaya yang positif untuk dikembangkan dalam pemerintahan dan pembangunan. Keuletan orang Minangkabau tercermin dalam pepatah petitih dan kebiasaan hidup berdemokrasi dalam sejarah perjalanan suku Minang dengan dua sistem yaitu Sistem Bodi Caniago dan Sistem Koto Piliang. Pandangan hidup orang Minangkabau yang “Adat Basandi Syarak”, “Syarak Basandi Kitabullah”. Hal ini menunjukan ketaatan akan nilai dan ajaran agama Islam terpatri dalam kebiasaan hidup dan budaya Minangkabau.
Budaya lain di Minangkabau yang positif dan dapat diangkat dalam kepemimpinan antara lain ; “tagak samo tinggi dan duduak samo randah”, “nan buto pambasuh lasuang”, “nan pakak palapeh badia”, “nan lumpuah pauni rumah”, “nan bingunang di suruah-suruah”, “nan kuaek pambaok baban”, “nan cadiak lawan barundiang”, dll. Budaya seperti ini perlu bagi seorang pemimpin di ranah Minangkabau dalam kepemimpinannya.
Melihat fenomena di atas penulis ingin membahas mengenai bagaimana pola kepemimpinan yang efektif di Ranah Minang.

2. Minangkabau, adat dan budaya
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak, yang bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri.
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
Minangkabau, sering dikenal sebagai bentuk kebudayaan dari pada sebagai bentuk negara yang pernah ada dalam sejarah. Secara umum, perkataan Minangkabau mempunyai dua pengertian, pertama Minangkabau sebagai tempat berdirinya kerajaan Pagaruyung. Kedua, Minangkabau sebagai salah satu kelompok etnis yang mendiami daerah tersebut.
Kerajaan Pagaruyung yang pada masa dahulu pernah menguasai daerah budaya Minangkabau, tampaknya tidak banyak memberikan atau meninggalkan pengaruh yang nyata terhadap budaya rakyat Minangkabau sampai sekarang. Dewasa ini, kharisma kerajaan Pagaruyung telah terlupakan begitu saja oleh masyarakat minangkabau. Istilah Minangkabau tidak lagi mempunyai konotasi sebuah daerah kerajaan, akan tetapi lebih mengandung pengertian sebuah kelompok etnis atau kebudayaan yang didukung oleh suku bangsa Minangkabau.
Realitas yang berkembang di tengah masyarakat (terutama orang luar minangkabau), kata Minangkabau sering diidentikkan dengan kata Sumatera Barat pada hal secara subtantif keduanya mempunyai makna yang berbeda. Sejarah menunjukkan, bahwa daerah geografis Minangkabau tidak merupakan bagian daerah propinsi Sumatera Barat. Sumatera Barat adalah salah satu propinsi menurut administratif pemerintahan RI, sedangkan Minangkabau adalah teritorial menurut kultur Minangkabau yang daerahnya lebih luas dari Sumatra Barat sebagai salah satu propinsi.
Minangkabau dalam pengertian sosial budaya merupakan suatu daerah kelompok etnis yang mendiami daerah Sumatera Barat sekarang, ditambah dengan daerah kawasan pengaruh kebudayaan Minangkabau seperti : daerah utara dan timur Sumatera Barat, yaitu Riau daratan, Negeri Sembilan Malaysia, daerah selatan dan timur yaitu; daerah pedalaman Jambi, daerah pesisir pantai sampai ke Bengkulu, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.
Alam Minangkabau menurut penulisan historis tradisional dan pemahaman masyarakatnya, mempunyai dua wilayah utama, yang keduanya berada dalam kekuasaan Kerajaan Minangkabau. Wilayah utama pertama disebut dengan Luhak nan Tigo dan kedua disebut dengan Rantau.
Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnis ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum.
Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur’an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Kuala lumpur, Seremban, Singapura, Jeddah, Sydney,[12]dan Melbourne.[13]
Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan. Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah “Tali Nan Tigo Sapilin”. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.

3. Pola pikir dan sifat-sifat orang minang
Pada dasarnya semua ketentuan adat Minang yang terhimpun dalam petatah-petitih, adalah rasional dan masuk akal. Oleh karena itu, hal-hal yang irasional seperti ilmu klenik, mistik, dan takhayul kurang berkembang di Minangkabau (Amin M.S. 2011). Orang Minang pada umumnya anti penindasan, anti kemiskinan, dan juga anti kemapanan. Mereka selalu melakukan perlawanan terhadap keadaan yang demikian.
Landasan berpikir orang Minang tercakup dalam pepatah adat berikut:
“Rumah basandi batu” Rumah bersendi batu
“Adat basandi alue jom patuik” Adat bersendi jalan yang benar dan pantas
“Mamakai anggo jo tango” Memakai aturan yang wajib diikuti
“Sarato raso jo pareso” Serta budi pekerti dan kecermatan
Tujuan adat adalah membentuk individu yang berbudi luhur, manusia yang berbudaya, dan manusia yang beradab.
“Kok pai tampak pungguang, jikok pulang tampak muko”
“Bajalan ba nan tuo, balaie ba nakhodo”
Dalam satu bahtera bila terdapat dua nakhoda maka alamat kapal akan tenggelam. Kalau dalam sebuah perusahaan ada dua dirut (direktur utama), atau ada direktur yang tak patuh pada keputusan dirut, maka alamat perusahaan tersebut akan hancur.
Sebagai orang Minang, wajar kita mulai merenung. Mengapa kini jarang perusahaan Minang yang menonjol? Salah satu sebabnya mungkinh karena orang Minang jarang mau menjadi orang yang nomor dua. Tiap individu Minang merasa dirinya sama dengan orang lain.
Bawahan sering bersikap “Iyokan nan dek inyo lalukan nan dek awak”. Watak orang Minang pantang “Tahimpik” ini mungkinj bersumber dari budaya “Lapau”, yang memberikan kemungkinan kebebasan berbicara yang tak terkendali dan tak mengenal hirarki.
Dalam organisasi modern tidak berlaku pepatah “duduak samo randah, tagak samo tinggi”, tetapi yang harus diterapkan adalah pepatah yang berbunyi “Bajanjang naik batanggo turun” atau “Kamanakan barajo ka mamak, Mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, Nan bana badiri sandirinNyo”

4. Kepemimpinan Minangkabau
Tujuan dipilihnya pemimpin di alam Minangkabau adalah untuk “ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah”. Artinya seorang pemimpin dipilih untuk diikuti. Ungkapan ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah menunjukkan bahwa antara pemimpin dan rakyat tidak ada jurang pemisah. Pemimpin tidak boleh meninggalkan dan melupakan rakyatnya. Ketika pemimpin berjalan lebih selangkah dari rakyatnya, maka ia akan dibiarkan berjalan sendiri. Dan jika dia meninggikan dirinya lebih dari seranting, maka ia akan segera diturunkan. Apa jadinya jika seorang pemimpin tidak lagi dipatuhi oleh rakyat.
Setiap program yang direncanakan sebaik apa pun akan menjadi sia-sia, sebab tidak didukung oleh rakyat. Pada hakekatnya seorang pemimpin di alam Minangkabau adalah “disambah di lahie, manyambah di batin”. Secara kasat mata seorang pemimpin adalah orang yang dilayani layaknya seorang raja. Dimana-mana dipanggil yang terhormat. Kebutuhannya dipenuhi oleh rakyat. Dia bertindak sebagai pembuat dan pengambil kebijakan. Akan tetapi di sisi lain pemimpin haruslah memihak dan melayani rakyatnya. Setiap kebijakan yang diambil haruslah mengutamakan kemajuan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi, golongan dan partai politik tertentu. Hal ini dikarenakan pemimpin diangkat oleh rakyat.
Dalam falsafah adat Minangkabau tidak setiap orang layak dipilih menjadi pemimpin. Hal ini disebabkan beratnya amanah yang akan dipikul oleh pemimpin itu sendiri. Seseorang ditunjuk sebagai pemimpin bukan karena kekayaan, popularitas, atau keturunan seorang pemimpin besar. Sebab itu semua bukanlah jaminan seseorang mampu mensejahterakan rakyat. Seorang keturunan pemimpin pun belum tentu dapat mengikuti kepemimpinan orang tuanya.
Maka amat bijaksana para pendahulu kita di Minangkabau menetapkan beberapa syarat seseorang yang layak dipilih untuk menjadi pemimpin. Selain memiliki keimanan dan ketaqwaan, seorang pemimpin juga harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya; Mampukah dia menjadi “taluak sebagai timbunan kapal”? Artinya seorang pemimpin harus lapang dada menerima aspirasi dan keluhan rakyat. Pemimpin bisa menjadi tempat curhat bagi rakyatnya. Merupakan suatu fenomena yang sudah biasa bahwa setiap menjelang pemilu para calon wakil rakyat turun ke lapangan guna mendengarkan keluhan masyarakat. Mereka dengan penuh perhatian menyimak setiap masalah yang diadukan oleh rakyat.
Bahkan tak jarang hal itu disertai dengan janji-janji untuk menyelesaikan permasalahan tersebut jika terpilih menjadi wakil rakyat nantinya. Ada juga calon wakil rakyat menunjukkan perhatiannya dengan memberikan sembako sambil tersenyum dan berbisik memohon dukungan. Yang sangat mengecewakan adalah kenyataan setelah mereka telah terpilih dan punya kekuasaan untuk berbuat lebih banyak dari pada sekedar membagikan sembako. Mereka tidak lagi meluangkan waktu untuk mendengarkan suara rakyat. Yang terpikir adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama ini dan mempertahankan kekuasaan tersebut.
Selanjutnya bisakah dia menjadi “bukik timbunan kabuki”? Seorang pemimpin harus mampu bertahan dalam kondisi bagaimana pun. Dia mampu bertahan di tengah krisis multi dimensi. Pemimpin harus bisa mengatasi kabut yang menutupi pandangan serta berdiri tegak menghadap badai yang menerjang, tahan panas dan dingin. Singkatnya pemimpin harus tangguh dan berjiwa besar. Hal ini telah dicontohkan oleh M. Hatta. Negara Indonesia yang begitu besar dan memiliki beribu-ribu pulau serta masyarakatnya yang berbeda suku, budaya, dan bahasa itu semua menjadi kecil di mata M. Hatta. Hal ini disebabkan beliau adalah seorang pemimpin yang berjiwa besar, tangguh, kokoh seperti bukit.
Seorang pemimpin mampukah dia “kusuik ka manyalasai”? Dia haruslah orang yang intelektual. Pilihlah pemimpin cerdas dan berkualitas. Apa jadinya bangsa yang besar ini jika dipimpin oleh orang yang tidak punya kompetensi sebagai pemimpin? Rasulullah SAW telah mengingatkan kita bahwa jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancuranya. Salah satu penyebab tidak lancarnya pembangunan di negara ini adalah disebabkan masih ada wakil rakyat yang kurang berkualitas. Oleh karena itu partai politik berkewajiban menyampaikan kualitas calon yang diajukanya kepada rakyat. Masyarakat berhak mengenal siapa dan apa visi misi wakil rakyat yang dicalonkan. Dengan demikian setiap individu bertanggung jawab untuk memilih pemimpin yang berkualitas.
Terakhir pemimpin harus berperan “ilang ka mancari”, “tabanam ka manyilami”, kok anyuik ka maminteh alias pandai berkomunikasi. Pemimpin yang baik adalah yang pandai berinteraksi dengan rakyatnya. Dan ini tidak semua orang dapat melakukannya. Kegagalan demokrasi seringkali disebabkan tidak jalannya komunikasi antara pemimpin dan rakyat. Kalau pun ada sering juga terjadi miskomunikasi yang berakhir kepada konflik. Khususnya di Ranah Minang ini rakyat bukanlah objek yang secara total tunduk dan patuh kepada setiap keputusan pemimpinnya. Masyarakat Minang tidak mengenal pemimpin otoriter dan diktator.
Masyarakat Minang tidak hanya membutuhkan figur yang cerdas, tapi juga bijaksana. Tidak jarang ketika pemerintah mengundang investor untuk membuka suatu lahan perkebunan atau pabrik ternyata terjadi konflik antara investor dengan masyarakat. Ini disebabkan lahan tersebut milik kaum atau masyarakat tidak menerima dibangunnya pabrik tersebut karena dinilai dapat merusak lingkungan.
Masyarakat Minang terkenal dengan pepatahnya; “Duduak surang basampik-sampik, duduk basamo balapang-lapang”. “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato de mufakaiak”. Dengan demikian pemerintahan berjalan dan didukung oleh rakyat.

5. Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah
Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur’an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut “dibuang sepanjang adat”.
Agama Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantanberhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, “Adat manurun, Syarak mandaki“ (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman),[25] serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siakmerujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam,[26] masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau.
Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari tiga raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.
Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803,[27] memainkan peranan penting dalam penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau di saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa Adat berasaskan Al-Qur’an

6. Teori kepemimpinan
”Kepemimpinan menurut Ralph M. Stogdill didefinisikan sebagai sarana pencapaian tujuan yang dimaksudkan dalam hubungan ini pemimpin merupakan seseorang yang memiliki suatu program dan yang berperilaku secara bersama-sama dengan anggota-anggota kelompok dengan mempergunakan cara atau gaya tertentu, sehingga kepemimpinan mempunyai peranan sebagai kekuatan dinamik yang mendorong, memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kepemimpinan juga diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan para karyawan/bawahan dalam melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan pada mereka. Oleh karena itu seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk mempengaruhi prilaku orang lain tanpa menggunakan kekuatan, sehingga orang orang yang dipimpinnya menerima dirinya sebagai sosok yang layak memimpin mereka.
Banyak teori yang mengatakan bahwa seorang pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat. Adapula yang mengatakan bahwa seorang pemimpin itu terjadi karena adanya komunitas-komunitas atau kumpulan-kumpulan individual dan ia melakukan pertukaran dengan yang dipimpin. Teori lain mengatakan bahwa pemimpin itu lahir dikarenakan situasinya memungkinkah ia tersebut ada.
Ada lima kategori seorang pemimpin mendapatkan kekuasaannya untuk mempengaruhi orang lain. Lima kategori adalah :
1. legitimate power
2. expert power
3. charismatic power
4. reward power; dan
5. coercive power
Kelima kategori sumber kekuasaan bertalian erat atau berkaitan dan melekat pada diri seorang pemimpin. Sedangkan Max Weber membagi kepemimpinan tersebut dari perspektif otoritas atas tiga bagian yaitu otoritas kharismatik, otoritas tradisional dan otoritas rasional.
Kepemimpinan didasarkan pada otoritas tradisional yang didasarkan pada pengakuan kultural. Kepemimpinan tradisional tidak bisa dilepaskan dari kepemimpinan berbasisgenealogic-hereditically (keturunan) dan kharismatik. Namun, diantara dua tipologi basis kepemimpinan ini, maka kepemimpinan berbasis kharismatik merupakan peletak dasar setiap kepemimpinan tradisional di berbagai entitas sosial. Biasanya, kepemimpinan yang didasarkan kepada kepemimpinan tradisional (termasuk juga kepemimpinan genealogic-hereditically atau keturunan dan kharismatik), sangat memudahkan dalam mempengaruhi masyarakat.
Teori kepemimpinan karismatik saat ini sangatlah dipengaruhi oleh ide-ide ahli sosial yang bernama Max Weber. Menurut Weber, kharisma terjadi saat terdapat sebuah krisis sosial, seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal yang menawarkan sebuah solusi untuk krisis itu, pemimpin menarik pengikut yang percaya pada visi itu, mereka mengalami beberapa keberhasilan yang membuat visi itu terlihat dapat dicapai, dan para pengikut dapat mempercayai bahwa pemimpin itu sebagai orang yang luar biasa. Tidaklah mengherankan dalam kajian sosiologi kepemimpinan, sumber kewibawaan (dalam hal ini terutama yang berbasiskan kharisma) seorang pemimpin yang biasanya terdapat pada masyarakat tradisional, diantaranya :
1) Memiliki basis institusi yang dari institusi itu melekat peran dan fungsinya. Bila Clifford Geertz mengistilahkannya dengan istana yang identik dengan bangsawan “darah biru”, maka dalam kepemimpinan tradisional lokal (untuk kasus Minangkabau) adalah person yang kewibawaan-kharismanya itu dilekatkan pada institusi keagamaan seperti surau ataupun lembaga-lembaga kependidikan. Geertz menyatakan bahwa tanpa istana seorang bangsawan tidak mempunyai arti politis sama sekali. Status sosial seorang bangsawan akan merosot jika ia tidak mempunyai atau tidak berkedudukan di istana.
2) Namun sebaliknya sebuah istana tidak akan dilihat sebagai lembaga politik yang penting jika tidak disertai dengan bangsawan/pemimpin yang terampil dalam memelihara kewibawaan istana. Dalam pemahaman korelatif-asimetris, maka hal ini bisa kita pahami bahwa kepemimpinan tradisional di Minangkabau akan berfungsi ketika memiliki institusi dan memiliki kemampuan menjaga institusi tersebut.
3) Kepemimpinan tradisional juga menekankan kepada kemampuan institusi dimana seorang atau lebih personal melekatkan potensi kepemimpinan mereka tersebut memiliki kemampuan produksi wacana pengetahuan, acuan sistem stratifikasi sosial dan yang berkaitan dengan pola rujukan dalam interaksi sosial. Dalam konteks ini, kepemimpinan tradisional yang efektif adalah kepemimpinan yang selalu memiliki kemampuan untuk menjadi referensi sosial, baik institusi maupun personalnya.
4) Dalam sistem kepemimpinan tradisional, personal yang memiliki potensi kepemimpinan tersebut memiliki kemandirian ekonomi. Semua dimaksudkan untuk membiayai seluruh kehidupan dan institusi yang dipimpin. Dalam konteks Minangkabau, biasa saja kita temukan sebuah institusi ataupun person yang tidak memiliki produktifitas ekonomi, akan tetapi tetap memiliki kemandirian ekonomi, salah satunya dengan jalan menerima pemberian ataupun sumbangan.
5) Gelar yang disandang oleh pemimpin tradisional memperlihatkan ciri dan model kepemimpinan yang diembannya. Gelar-gelar tersebut ada yang mencerminkan keilahian, pengayoman, perlindungan, pemeliharaan tetapi ada juga yang mencerminkan penguasaan.
6) Aspek moral adalah salah satu aspek yang cukup penting dalam kepemimpinan tradisonal. Moral merupakan landasan dan kriteria utama dari masyarakat yang dipimpinnya. Kesediaan berkorban dari anggota masyarakat, termasuk kerelaan mengorbankan harta bendanya dan bahkan jiwanya yang paling berharga, akan terus mendukung bila moral seorang pemimpin atau penguasa memperlihatkan pula kesediaan untuk berkorban guna kepentingan masyarakat.

Walaupun harus diakui bahwa pewarisan kepemimpin dalam masyarakat tradisional sepenuhnya didasarkan pada stratifikasi sosial, atau dalam bahasa perspektif sejarah sosial sebagai pewarisan pola kepemimpinan berbasiskan ascribed (otomatis karena faktor genealogic-hereditically) dan bukan berdasarkan achievement (prestasi dan kelebihan diluar keturunan), tetapi tidak berarti bahwa semua elit dalam kepemimpinan tradisional secara otomatis akan menjadi pemimpin. Ada beberapa polarisasi kepemimpinan tradisional (termasuk Minangkabau) yang justru menghargai achievement terutama dalam kasus elit-agama, sementara elit-adat, masih menggunakan polarisasi kepemimpinan ascribed.

7. Gaya Kepemimpinan
Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang berbeda dalam memimpin para pengikutnya, perilaku para pemimpin itu disebut dengan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan merupakan suatu cara pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya yang dinyatakan dalam bentuk pola tingkah laku atau kepribadian.
Dari penelitian yang dilakukan Fiedler yang dikutip oleh Prasetyo (2006) ditemukan bahwa kinerja kepemimpinan sangat tergantung pada organisasi maupun gaya kepemimpinan. Apa yang bisa dikatakan adalah bahwa pemimpin bisa efektif ke dalam situasi tertentu dan tidak efektif pada situasi yang lain. Usaha untuk meningkatkan efektifitas organisasi atau kelompok harus dimulai dari belajar, tidak hanya bagaimana melatih pemimpin secara efektif, tetapi juga membangun lingkungan organisasi dimana seorang pemimpin bisa bekerja dengan baik.
Lebih lanjut menurut Prasetyo, gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan dalam proses kepemimpinan yang diimplementasikan dalam perilaku kepemimpinan seseorang untuk mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Selain itu gaya kepemimpinan juga dapat didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Menurut University of Iowa Studies yang dikutip Robbins dan Coulter (2002), Lewin menyimpulkan ada tiga gaya kepemimpinan; gaya kepemimpinan otokratis, gaya kepemimpinan demokratis, gaya kepemimpinan Laissez-Faire (Bebas Kendali).
Gaya kepemimpinan otokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung memusatkan kekuasaan kepada dirinya sendiri, mendikte bagaimana tugas harus diselesaikan, membuat keputusan secara sepihak, dan meminimalisasi partisipasi karyawan. Gaya kepemimpinan Demokratis/Partisipatif ditandai dengan adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri. Sedangkan gaya kepemimpinan Laissez-Faire (Bebas Kendali) mendeskripsikan pemimpin yang secara keseluruhan memberikan karyawannya atau kelompok kebebasan dalam pembuatan keputusan dan menyelesaikan pekerjaan menurut cara yang menurut karyawannya paling sesuai.

8. Kepemimpinan Situasional
Pendekatan Situasional adalah pendekatan yang paling banyak dikenal. Pendekatan ini dikembangkan oleh Paul Hersey and Kenneth H. Blanchard tahun 1969 berdasarkan Teori Gaya Manajemen Tiga Dimensi karya William J. Reddin tahun 1967. Pendekatan kepemimpinan Situasional fokus pada fenomena kepemimpinan di dalam suatu situasi yang unik. Premis dari pendekatan ini adalah perbedaan situasi membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Dari cara pandang ini, seorang pemimpin agar efektif harus mampu menyesuaikan gaya mereka terhadap tuntutan situasi yang berubah-ubah.
Pendekatan kepemimpinan situasional menekankan bahwa kepemimpinan terdiri atasdimensi arahan dan dimensi dukungan. Setiap dimensi harus diterapkan secara tepat dengan memperhatikan situasi yang berkembang. Guna menentukan apa yang dibutuhkan oleh situasi khusus, pemimpin harus mengevaluasi pekerja mereka dan menilai seberapa kompeten dan besar komitmen pekerja atas pekerjaan yang diberikan.
Dengan asumsi bahwa motivasi dan keahlian pekerja berbeda di setiap waktu, kepemimpinan situasional menyarankan pemimpin untuk mengubah tinggi-rendahnya derajat tatkala mengarahkan atau mendukung para pekerja dalam memenuhi kebutuhan bawahan yang juga berubah. Dalam pandangan kepemimpinan situasional, pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu mengenali apa yang dibutuhkan pekerja untuk kemudian (secara kreatif) menyesuaikan gaya mereka agar memenuhi kebutuhan pekerja tersebut.
Kepemimpinan situasional menyediakan empat pilihan gaya kepemimpinan. Keempat gaya tersebut melibatkan aneka kombinasi dari Perilaku Kerja dengan Perilaku Hubungan.Perilaku Kerja meliputi penggunaan komunikasi satu-arah, pendiktean tugas, dan pemberitahuan pada pekerja seputar hal apa saja yang harus mereka lakukan, kapan, dan bagaimana melakukannya. Pemimpin yang efektif menggunakan tingkat perilaku kerja yang tinggi di sejumlah situasi dan hanya sekedarnya di situasi lain.
Perilaku hubungan meliputi penggunaan komunikasi dua-arah, mendengar, memotivasi, melibatkan pengikut dalam proses pengambilan keputusan, serta memberikan dukungan emosional pada mereka. Perilaku hubungan juga diberlakukan secara berbeda di aneka situasi.
Dengan mengkombinasikan derajat tertentu perilaku kerja dan derajat tertentu perilaku hubungan, pemimpin yang efektif dapat memilih empat gaya kepemimpinan yang tersedia, yaitu:
1) Telling – Memberitahu
2) Participating – Partisipatif
3) Selling – Menjual
4) Delegating – Delegasi

Menurut model ini, pemimpin harus mempertimbangkan situasi sebelum memutuskan gaya kepemimpinan mana yang hendak digunakan. Kontijensi situasional pada model adalah derajat Readiness (Kesiapan). Kesiapan adalah kemampuan pengikut untuk memahami tujuan organisasi yang berhubungan dengan pekerjaan secara maksimal tetapi mampu dicapai dan keinginan mereka untuk memikul tanggung jawab dalam pencapaian tugas tersebut.
Kesiapan bukanlah ciri yang tetap pada pengikut, melainkan bergantung pada pekerjaan. Pengikut yang ada di sebuah kelompok mungkin punya kesiapan yang tinggi untuk suatu pekerjaan, tetapi tidak dipekerjaan lainnya. Kesiapan pengikut juga bergantung pada seberapa banyak pelatihan yang pernah diterima, seberapa besar komitmen mereka pada organisasi, seberapa besar kemampuan teknisnya, seberapa banyak pengalamannya, dan seterusnya.
1) Gaya Telling (memberitahu)
Gaya memberitahu adalah gaya pemimpin yang selalu memberikan instruksi yang jelas, arahan yang rinci, serta mengawasi pekerjaan dari jarak dekat. Gaya memberitahu membantu untuk memastikan pekerja yang baru untuk menghasilkan kinerja yang maksimal, dan akan menyediakan fundasi solid bagi kepuasan dan kesuksesan mereka di masa datang.
2) Gaya Selling (menjual)
Gaya menjual adalah gaya pemimpin yang menyediakan pengarahan, mengupayakan komunikasi dua-arah, dan membantu membangun motivasi dan rasa percaya diri pekerja. Gaya ini muncul tatkala kesiapan pengikut dalam melakukan pekerjaan meningkat, sehingga pemimpin perlu terus menyediakan sikap membimbing akibat pekerja belum siap mengambil tanggung jawab penuh atas pekerjaan. Sebab itu, pemimpin perlu mulai menunjukkan perilaku dukungan guna memancing rasa percaya diri pekerja sambil terus memelihara antusiasme mereka.
3) Gaya Participating (Partisipatif)
Gaya Partisipatif adalah gaya pemimpin yang mendorong pekerja untuk saling berbagi gagasan dan sekaligus memfasilitasi pekerjaan bawahan dengan semangat yang mereka tunjukkan. Mereka mau membantu pada bawahan. Gaya ini muncul tatkala pengikut merasa percaya diri dalam melakukan pekerjaannya sehingga pemimpin tidak lagi terlalu bersikap sebagai pengarah. Pemimpin tetap memelihara komunikasi terbuka, tetapi kini melakukannya dengan cenderung untuk lebih menjadi pendengar yang baik serta siap membantu pengikutnya.
4) Gaya Delegating (delegasi)
Gaya delegasi adalah gaya pemimpin yang cenderung mengalihkan tanggung jawab atas proses pembuatan keputusan dan pelaksanaannya. Gaya ini muncul tatkala pekerja ada pada tingkat kesiapan tertinggi sehubungan dengan pekerjaannya. Gaya ini efektif karena pengikut dianggap telah kompeten dan termotivasi penuh untuk mengambil tanggung jawab atas pekerjaannya.

9. Kepemimpinan yang efektif di ranah minang
Terdapat kecenderungan bagi beberapa karyawan terhadap keinginan untuk mempunyai seorang pemimpin yang bergaya liberal atau Laissez Faire dengan pengawasan yang longgar. Sehingga jika mereka merasakan pimpinan terlalu keras, kaku, dan tak bersahabat maka secara spontan mereka akan menolak pimpinan tersebut. Pemimpin yang longgar akan disenangi oleh karyawan karena karyawan bisa berbuat sehendaknya tanpa tekanan ataupun pengawasan dari Sang pemimpin. Namun bagi organisasi hal ini amat merugikan karena efesiensi dan efektivitas pencapaian tujuan organisasi akan jelas menurun akibat menurunnya etos kerja para karyawan. Apalagi jika diterapkan di Ranah Minang maka akan lahirlah pepatah ”Dikasih hati, minta jantung”, “dari kuduk nak ke kepala”.
Sebaliknya pola kekerasan dan gaya kepemimpinan yang otoriter diterapkan bagi orang Minang juga akan memberikan efek yang tidak baik bagi kepuasan kerja, walaupun produktivitas dapat dipertahankan tetapi karyawan bekerja di bawah tekanan suatu saat akan berontak. Lebih lanjut juga menyebabkan karyawan membenci pemimpinnya dan hubungan atasan dan bawahan tidak akan harmonis. Sebagian yang bias menggunakan kesempatan akan berkata “Iyokan nan dek Inyo, Lalukan nan de Awak”
Memang ada saat-saat yang tepat bagi seorang pemimpin untuk menerapkan semua gaya kepemimpinan yang ada, sehingga tidak harus menggunakan satu gaya kepemimpinan saja. Gaya otoriter kadang-kadang perlu digunakan dalam situasi karyawan/bawahan kehilangan ide, pendapat atau kreativitas dan pemimpinlah yang harus memberikan instruksi yang jelas, arahan yang rinci, serta mengawasi pekerjaan dari jarak dekat. Sebagaimana gaya Telling (Gaya memberitahu) pada Gaya Kepemimpinan Situasional. Hal ini membantu untuk memastikan pekerja yang baru untuk menghasilkan kinerja yang maksimal, dan akan menyediakan fundasi solid bagi kepuasan dan kesuksesan mereka di masa datang.
Dengan demikian gaya kepemimpinan situasional sebagai gaya kepemimpinan modern yang cocok diterapkan dalam melaksanakan tugas sebagai pemimpin di Ranah Minang. Pola gaya kepemimpinan situasional ini memberikan kesempatan bagi pemimpin untuk menentukan sikap kapan harus telling, selling, participating ataun delegating. Namun dalam hal ini diminta kepiawaian pemimpin membaca situasi yang tepat karena bila salah menggunakan situasi dan gaya, maka seorang pemimpin akan mudah di-judge sebagai seorang otoriter, demokratis atau Laissez-Faire. Masyarakat Minang terkenal dengan pepatahnya; “Duduak surang basampik-sampik, duduk basamo balapang-lapang”. “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato de mufakaiak”
Dalam falsafah adat Minangkabau tidak setiap orang layak dipilih menjadi pemimpin. Hal ini disebabkan beratnya amanah yang akan dipikul oleh pemimpin itu sendiri. Seseorang ditunjuk sebagai pemimpin bukan karena kekayaan, popularitas, atau keturunan seorang pemimpin besar. Sebab itu semua bukanlah jaminan seseorang mampu mensejahterakan rakyat. Seorang keturunan pemimpin pun belum tentu dapat mengikuti kepemimpinan orang tuanya.
Maka amat bijaksana para pendahulu kita di Minangkabau menetapkan beberapa syarat seseorang yang layak dipilih untuk menjadi pemimpin. Selain memiliki keimanan dan ketaqwaan, seorang pemimpin juga harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya; Mampukah dia menjadi “taluak sebagai timbunan kapal”? Artinya seorang pemimpin harus lapang dada menerima aspirasi dan keluhan rakyat. Pemimpin bisa menjadi tempat curhat bagi rakyatnya.
Selanjutnya menjadi “bukik timbunan kabuik”? Seorang pemimpin harus mampu bertahan dalam kondisi bagaimana pun. Dia mampu bertahan di tengah krisis multi dimensi. Pemimpin harus bisa mengatasi kabut yang menutupi pandangan serta berdiri tegak menghadap badai yang menerjang, tahan panas dan dingin. Singkatnya pemimpin harus tangguh dan berjiwa besar. Hal ini telah dicontohkan oleh M. Hatta. Negara Indonesia yang begitu besar dan memiliki beribu-ribu pulau serta masyarakatnya yang berbeda suku, budaya, dan bahasa itu semua menjadi kecil di mata M. Hatta. Hal ini disebabkan beliau adalah seorang pemimpin yang berjiwa besar, tangguh, kokoh seperti bukit.
Seorang pemimpin mampukah dia “kusuik ka manyalasai”? Dia haruslah orang yang intelektual. Pilihlah pemimpin cerdas dan berkualitas. Apa jadinya bangsa yang besar ini jika dipimpin oleh orang yang tidak punya kompetensi sebagai pemimpin? Rasulullah SAW telah mengingatkan kita bahwa jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancuranya. Salah satu penyebab tidak lancarnya pembangunan di negara ini adalah disebabkan masih ada wakil rakyat yang kurang berkualitas. Oleh karena itu partai politik berkewajiban menyampaikan kualitas calon yang diajukanya kepada rakyat. Masyarakat berhak mengenal siapa dan apa visi misi wakil rakyat yang dicalonkan. Dengan demikian setiap individu bertanggung jawab untuk memilih pemimpin yang berkualitas.
Terakhir pemimpin harus berperan “ilang ka mancari”, “tabanam ka manyilami”, kok anyuik ka maminteh alias pandai berkomunikasi. Pemimpin yang baik adalah yang pandai berinteraksi dengan rakyatnya.
Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur’an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam. Maka seorang pemimpin harus mencerminkan seorang yang bertakwa kepada Allah SWT, berbudi luhur dan berakhlak baik. Menjalankan roda kepemimpinan berpegang kepada ajaran yang dikembangkan oleh Rasulullah Nabi Muhammad SAW.
Pola kepemimpinan juga tergambar dalam Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim : Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin dalam keluarganya, bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Wanita itu pemimpin dalam rumah tangganya, dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Kahadam itu pemimpin bagi harta majikannya, bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Bagi pemimpin yang mengemban kekuasaan harus bersikap adil, maka ia akan mendapat derajat yang besar.
“Sesungguhnya, orang-orang yang adil itu di sisi Allah akan mendapat tempat di atas mimbar-mimbar dari cahayab yang terletak di sebelah kanan Allah. Yaitu, orang-orang yang adiln menjalankan hokum, adil kepada keluarganya dan adil nmelaksanakan tugas yang diserahkan kepadanya. Kedua tangan Allah itu dinamakan yamin”. (HR Muslim).
Keadilan ini juga digambarkan dalam pepatah Minang “Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang” “Ketek paguno gadang tapakai “tagak samo tinggi dan duduak samo randah”, “nan buto pambasuh lasuang”, “nan pakak palapeh badia”, “nan lumpuah pauni rumah”, “nan bingunang di suruah-suruah”, “nan kuaek pambaok baban”, “nan cadiak lawan barundiang.
“Bakati samo barek”, “maukue samo panjang”, “tibo di mato indak dipiciangkan”, “tibo di paruik indak dikampihkan”, “tibo di dado indak dibusuangkan”. Hal ini masih sulit diwujudkan karena dalam kepemimpinan masih ada bermain berbagai kepentingan seperti: ego profesi, korupsi, kekerabatan yang semestinya bisa diatasi jika memiliki seorang pemimpin yang beriman dan bertakwa serta berakhlahkul kharimah.
Dengan demikian kepemimpinan yang efektif di Ranah Minang adalah kepemimpinan Situasional dibungkus dengan Iman dan Takwa serta Akhlak yang baik. Dimana seorang pemimpin dapat menjadi suri tauladan bagi staf yang dipimpinannya. Dengan kata lain pemimpin haruslah orang yang terpilih karena kecerdasannya, keimanan dan ketakwaannya.

10. Kesimpulan
Gaya kepemimpinan yang dijalankan oleh seorang pemimpin organisasi dapat mempengaruhi semangat kerja karyawan organisasi tersebut. Karena gaya kepemimpinan yang dijalankan dengan baik merupakan perwujudan dari kepemimpinan yang efektif, dan kepemimpinan yang efektif dapat memberikan sumbangan pada peningkatan semangat kerja karyawan.
Pendekatan kebudayaan merupakan faktor sangat penting, karena menyangkut kajian mengenai berbagai perilaku seseorang maupun kelompok yang beroreantasi tentang kahidupan bernegara, penyelenggaraan pemerintahan, politik, hukum, adat istiadat dan norma, kebiasaan yang berjalan yang dilaksanakan dan dihayati oleh anggota masyarakat sehari hari dalam organisasi (formal dan informal).
Masyarakat Minang terkenal dengan pepatahnya; “Duduak surang basampik-sampik, duduk basamo balapang-lapang”. “Bulek aie dek pambuluah, bulek kato de mufakaiak”. Dengan demikian pemerintahan berjalan dan didukung oleh rakyat.
Pemimpin di alam Minangkabau adalah untuk “ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah”. “Bajalan ba nan tuo, balaie ba nakhodo” artinya seorang pemimpin dipilih untuk diikuti. Ungkapan ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah menunjukkan bahwa antara pemimpin dan rakyat tidak ada jurang pemisah. Namun tidak ada dualisme dalam kepemimpinan sebagaimana dengan pepatah “Bajanjang naik batanggo turun” atau “Kamanakan barajo ka mamak, Mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, Nan bana badiri sandirinNyo”
Kepemimpinan yang efektif memberikan sumbangan pada moral tenaga kerja, biasanya hal ini mengakibatkan iklim yang tercipta dilihat oleh para tenaga kerja sebagai sesuatu yang balans dengan keberuntungan psikologis mereka. Sebagai dampak nyata, dengan senang hati mereka melibatkan diri dalam pekerjaan mereka. Tenaga kerja jarang sekali menyadari secara persis mengapa ia merasa bebas untuk melibatkan diri sepenuhnya pada pekerjaannya. Biasanya hal ini dapat menunjukkan fakta bahwa manajernya adalah rekan kerja yang menyenangkan, sebagaimana tenaga kerja lainnya, pekerjaannya pun semakin menyenangkan”.
Namun yang terpenting seorang pemimpin juga harus menyadari hubungannya dengan staf dan jika ada indikasi perlunya perbaikan, maka dengan segera harus mencari jalan untuk mengoreksi dan memperbaiki hubungan tersebut.
Beberapa pertanyaan tentang hubungan anda dengan staf anda:
• Apakah staf anda menerima kepemimpinan anda?
• Apakah anda pimpinan atau “boss”
• Apakah staf anda bersikap menerima terhadap pertolongan anda, atau apakah mereka kelihatan meragukan intervensi anda tersebut?
• Seberapa jauh anda membantu staf memahami maksud dari kualitas pelayanan? Apakah terlihat bahwa pendidikan diperlukan? Apakah anda memanfaatkannya?
• Apakah anggota staf sanggup mengikuti arahan anda? Seberapa jelas dan spesifikkah arahan anda? Apakah anda menyampaikan semua informasi penting?
• Apakah penugasan yang anda berikan terencana dengan baik? Apakah anda memanfaatkan kemampuan setiap orang seluas-luasya?
• Apakah anda memberikan perhatian lebih pada “pekerjaannya” atau “pekerjanya”? Apakah anda bisa mengajarkan pekerja kapanpun diperlukan?

Dengan asumsi bahwa motivasi dan keahlian pekerja berbeda-beda, serta dengan keunikan latar belakang adat dan budaya, khususnya di Minangkabau maka kepemimpinan situasional merupakan pilihan bagi pemimpin, agar dapat mengarahkan atau mendukung para pekerja dalam memenuhi kebutuhan bawahan yang juga bebeda-beda pula.
Dalam pandangan kepemimpinan situasional, pemimpin yang efektif adalah mereka yang mampu mengenali apa yang dibutuhkan pekerja untuk kemudian (secara kreatif) menyesuaikan gaya mereka agar memenuhi kebutuhan pekerja tersebut. Dapat dipahami bahwa dengan adanya kepemimpinan yang efektif akan tercipta iklim yang kondusif bagi karyawan untuk bekerja dengan senang hati, Dalam kondisi ini, pemimpin dirasakan bukan hanya berperan sebagai supervisor namun juga menjadi rekan kerja yang menyenangkan.

11. Rekomendasi
Berdasarkan definisi-definisi kepemimpinan dan gaya kepemimpinan penulis menyarankan:
1. Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain yaitu para karyawan atau bawahan, para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin.
2. Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang dengan kekuasaannya mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Kekuasaan itu dapat bersumber dari: hadiah, hukuman, otoritas dan karisma.
3. Pendekatan kebudayaan merupakan faktor sangat penting, karena menyangkut kajian mengenai berbagai perilaku seseorang maupun kelompok
4. Pemimpin harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri, sikap bertanggung jawab yang tulus, pengetahuan, keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan, kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain dalam membangun organisasi.
5. Seorang pemimpin di Ranah Minang harus cerdas, beriman dan bertakwa serta berakhlahkul kharimah dapat menjadi suri tauladan bagi staf yang dipimpinannya.

DAFTAR PUSTAKA

Attubani R. 2012. Adat dan Sejarah Minangkabau. Padang: Media Eksplorasi

http://armenzulkarnain.wordpress.com/1000-pepatah-petitih-minangkabau-angku-idrus-hakimy-dt-rajo-panghulu/pepatah-petitih-minangkabau-1-%E2%80%93-100/

http://belajarpsikologi.com/tipe-tipe-kepemimpinan/

http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/307-Asal-Mula-Nama-Nagari-Minangkabau

http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/15/leadership-2/

http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minang

http://www.cimbuak.net/content/view/1815/5/

http://www.sumbarprov.go.id/detail_artikel.php?id=141

http://www.minangforum.com/Thread-Cerdasnya-Orang-Minang-Memilih-Pemimpin

http://id.shvoong.com/business-management/marketing/2139031-pendekatan-situasional/

Klik untuk mengakses Situational%20Leadership%202.pdf

Kartono, Kartini. 2001. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Mohammad H. 2008. 44 Teladan Kepemimpinan Muhammad. Jakarta: Gema Insani

M.S., Amir. 2011 Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: Citra Harta Prima

Rivai, Veithzal. 2003. Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Grafindo Persada.

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Thoha, Miftah. 1991. Perilaku Organisasi, Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.

Thoha, Miftah. 2009. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Tinggalkan komentar